Oleh:
Sitnah A. Marasabessy
Suatu ketika di atas pete-pete (pent.angkot), tanpa sengaja saya sempat mendengar percakapan kecil dari sekelompok ibu-ibu. Pembicaraan mulai dari masalah biaya sekolah anak-anak hingga seputar calon presiden. Ketika salah seorang ibu – nampaknya seorang IRT- ditanya tentang kriteria prediden/partainya langsung nyeletuk, “Nanti pi diliat” (Nanti saja kita lihat).
Perbincangan di atas hanyalah satu contoh yang banyak berkembang saat ini. Seiring dengan maraknya masa kampanye, ada satu gejala yang muncul, yaitu kecenderungan masyarakat untuk bersikap ‘apatis’. Tanpa perlu memikirkan untung rugi, bagi masyarakat sama saja. Siapa pun yang menang dalam pemilu, situasi akan seperti biasa atau bahkan mungkin akan lebih buruk. Kalaupun nanti mereka memilih maka pilihannya itu hanya akan didasarkan pada partai mana yang paling banyak terekam dalam ingatannya, bukan pada visi dan misi partai. Pernah ada salah seorang anggota partai yang mengungkapkan keprihatinannya tentang kondisi ini dengan berkata, “Sangat disayangkan bahwa masyarakat Indonesia saat ini memilih partai karena lambang atau siapa yang menjadi capresnya, bukan platform dari partai tersebut.” Satu hal yang mungkin terlewatkan oleh anggota partai tadi adalah ‘kekecewaan’ yang dialami oleh rakyat secara terus menerus. Ketika rakyat yang bukanlah the real player dalam panggung politik, menganggap bahwa harapan mereka hanya akan menjadi mimpi indah di siang bolong. Dan sayangnya mereka sudah terkondisikan seperti itu. “Singkamma ji. Partai-partai itu tentu saja akan memberikan janji-janji. Bahkan mungkin semua impian kami akan mereka janjikan. Tapi tunggu saja ketika kami memilih mereka, dan mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan, maka apa yang kami dapatkan?” Opini inilah yang banyak berada di pikiran sebagian besar masyarakat Indonesia. Ini hanyalah realitas yang telah membentuk paradigma pemikiran masyarakat kita.
Nah, apa yang terjadi ketika rakyat sudah tak mau lagi peduli dengan apa yang terjadi? Pertama, pemilu hanya akan menjadi sekedar hari arak-arakan kampanye pemilu. Kedua, rakyat ketika mereka sudah tidak lagi menemukan manfaat dari pemilu kecuali sebagai ‘pesta’ nasional untuk menjalankan negara, maka mereka akan menempatkan diri sebagai penonton. Jika saja para elit politik itu konsisten pada janjinya, maka rakyat tentu tidak akan se-cuek itu.
Jika dicermati lebih jauh, politik bukan hal asing bagi rakyat Indonesia. Hanya saja sistem yang ada sekarang dan para pelaku politiklah yang menjadikan politik itu semakin kompleks dan seakan ‘tidak terjamah’ oleh rakyat. Apa yang harus dilakukan? Jawabannya adalah menempatkan kembali sesuatu pada tempat dan pada porsinya. Things should be placed to where it belongs to. Apapun itu, ketika segala sesuatu sudah tidak lagi berada pada posisi yang sebenarnya maka saat kehancuran tinggal menunggu waktu. Tak mudah memang untuk merubah benang kusut menjadi rapi kembali. Ia butuh waktu dan melewati tahap demi tahap. Meski tidak kurang berbagai himbauan dan peringatan, tapi nampaknya keadaan belum akan berubah ke arah yang lebih baik selama pihak-pihak yang terkait baik rakyat maupun para aparat belum menempatkan dirinya sesuai dengan porsinya masing-masing. Bangsa ini nampaknya akan terus terbawa ke suatu keadaan yang benar-benar ‘kacau’. Boleh percaya atau tidak, setuju atau tidak. Kita biasanya baru akan mengambil tindakan ketika sudah benar-benar ‘terjepit’. Mungkin ketika kita itu terjadi, baru akan muncul ‘political will’ untuk berubah. Mestinya kita kembali bertanya apa yang dapat kita lakukan untuk merubah kondisi tersebut. Yang menjadi masalah adalah kita belum memiliki visi dan misi yang sama tentang kemana kita hendak membawa masyarakat ini. Yang ada adalah interes pribadi dan golongan. Untuk itu, yang pertama adalah menyamakan visi dan pemahaman. Caranya? Mesti ada kesepakatan tentang apa yang menjadi pijakan atau pedoman dalam melakukan aktifitas bersama, dan pijakan itu mestilah pijakan yang benar yang sesuai dengan hati nurani manusia, yang dibangun atas argumen yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan dari semua segi. Di sinilah pentingnya ilmu yaitu ilmu tentang apa hakikat dari keberadaan manusia itu sendiri dan ilmu tentang bagaimana merealisasikan eksistensi tersebut dalam praktek yang bermanfaat bagi individu itu sendiri dan bagi orang lain.. Dalam tataran ini, semua elemen bangsa mestinya harus mempelajari dulu tentang dasar pijakan ini dengan sebaik-baiknya. Jika perlu, mesti ada semacam gerakan nasional wajib belajar bagi semua elemen bangsa mulai dari para pemimpin hingga rakyat kecil. Langkah kedua, setelah memiliki pijakan yang sama dan pemahaman yang sama tentang pijakan tersebut, maka kemudian melakukan musyawarah ‘raksasa’ yang melibatkan semua unsur. Dengan ilmu dan pemahaman yang baik maka jalannya musyawarah dan apa yang dihasilkan oleh musyawatah itu tentunya adalah suatu hal yang baik pula. Ketika semua orang di negara ini sudah memahami tentang untuk apa sebenarnya mereka bekerja, maka semua orang akan berusaha untuk memerankan perannya sesuai dengan yang seharusnya. Pemimpin akan menjalankan dirinya sebagai pemimpin dan bukan penguasa sedang yang dipimpin akan menempatkan diri sebagai pekerja dan bukan hanya sekedar pengekor. Yang salah dinyatakan salah dan yang benar dikatakan benar karena semua orang memiliki parameter yang sama tentang nilai kebenaran dan penilaian salah itu sendiri. Kewajiban akan ditegakkan dan hak akan dipenuhi karena semua orang merasa bahwa apa yang menjadi kewajibannya pada saat yang sama adalah hak orang lain. Sebaliknya ia tidak akan bisa mendapatkan haknya selama ia belum menjalankan kewajibannya. Keinginan untuk memiliki sesuatu tidak akan menjajah kepentingan pihak yang lain, sebaliknya akan selalu ada kepentingan untuk memenuhi keinginan orang lain dalam batas-batas yang wajar. Yang lebih indah lagi ketika semua orang merasa bahwa ia harus memberikan yang terbaik yang bisa diberikan untuk orang lain. Jika semua ini sudah terjadi, maka apapun tujuan yang ingin dicapai, setinggi apapun, bukanlah hal yang mustahil. Sebaliknya jika ini belum dicapai, maka sedekat apapun tujuan kita, maka tidak akan pernah sampai ke tujuan tersebut.
Bukan hal yang mudah memang untuk melaksanakan semua ini karena ia menyangkut banyak orang, banyak kepentingan, beragam pemikiran, dan berbagai tendensi. Life isn’t an easy thing at all. Pasukan semut kecil yang tidak berarti apa-apa mampu menghadapi seekor gajah jika mereka memiliki visi yang sama tentang mau diapakan gajah tersebut. Bagaimana dengan makhluk sekaliber manusia? Nah bagaimana dengan kita manusia itu sendiri? Siapapun yang mengaku dirinya berakal pasti tidak akan mengingkari bahwa kita harus melakukan sesuatu untuk mengeluarkan kita dari kekacauan ini.. A journey of a thousand miles must begin with a single step. Ketidakpedulian akan nasib bangsa hanyalah akibat dari sebab terlalu peduli terhadap nasib pribadi. Kapan kita bisa melakukannya? Jawabnya dikembalikan kepada siapa saja yang mengaku peduli terhadap nasib bangsa. Semoga Allah menyegerakan petunjuk dan pertolongan-Nya untuk kita semua.
Pembaca yang saya hormati,
Tulisan-tulisan dalam blog ini insya Allah selalu diupayakan keorisinalitasnya. Saya berharap pembaca juga bersedia menjaga orisinalitasnya dengan mencantumkan nama blog ini (http://www.sitnah-aisyah.blogspot.com). Semoga Anda memperoleh manfaat dari blog ini.
Jumat, 28 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar